Melindungi lahan gambut Indonesia dengan Pemetaan Lahan untuk Restorasi Gambut

Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut

Tanah Gambut terbentuk dari bahan organik tanaman yang membusuk dan terdekomposisi dalam waktu yang cukup lama. kondisi lahan gambut yang kering, membuatnya sangat mudah terbakar. Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di lahan gambut ini ditaksir mencapai Rp 221 triliun (mengutip studi Bank Dunia). Hal ini belum memperhitungkan dampak kerugian yang bersifat jangka panjang yang akan dialami bagi anakanak yang menghirup kabut asap akibat kebakaran. Padahal, beberapa penelitian menunjukkan, paparan jangka panjang terhadap polusi kabut asap berkorelasi dengan peningkatan penyakit gangguan jantung dan pernapasan kronis. Sebuah studi tentang efek dari krisis kabut asap Indonesia tahun 1998 terhadap kematian janin, bayi, dan anak batita menunjukkan bahwa polusi udara menyebabkan jumlah anak-anak yang mampu bertahan hidup menurun sebesar 15.600 anak. Sekitar 33 persen dari jumlah lahan yang terbakar merupakan lahan gambut, yang menyebabkan kabut asap yang tercipta menjadi sangat berbahaya, tak hanya bagi masyarakat yang menghirupnya, namun juga bagi Bumi.

Pulau Sumatera dan Kalimantan, yang memiliki sebagian besar lahan gambut di negeri ini, paling menderita akibat kebakaran ini. Tidak seperti tahun-tahun yang lalu, kebakaran hebat juga terjadi di Papua yang berkontribusi hingga 10 persen dari luas lahan yang terbakar secara nasional pada tahun itu. Perkembangan ini sangat memprihatinkan karena dibandingkan provinsi lain, lahan gambut di Papua masih utuh dan terjaga. Di sisi lain, hal ini menunjukkan adanya eskalasi kebakaran hutan dan lahan gambut nasional. Kebakaran hutan dan lahan yang berlangsung sekitar tiga bulan itu juga menempatkan Indonesia menjadi emitor gas rumah kaca yang signifikan. Dari hasil kebakaran lahan gambut selama kurang lebih tiga bulan, Indonesia menghasilkan 1,62 juta metrik ton setara karbon dioksida. Bahkan data Bank Dunia yang mengacu Basis Data Emisi Kebakaran Global versi 4 (Global Fire Emissions Databaseversion 4, GFED4) mencatat, 1.750 juta metrik ton setara karbon dioksida (MtCO2e) terhadap emisi global pada tahun 2015. Sebagai perbandingan, berdasarkan Komunikasi Nasional ke-2 dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change), Indonesia diperkirakan menghasilkan emisi secara nasional tahunan sebesar 1.800 MtCO2e.

Dengan besarnya emisi yang dihasilkan itu, komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen (atau 41 persen dengan dukungan keuangan internasional) dibandingkan dengan skenario seperti biasanya (business as usual) pada tahun 2030 sebagai bagian dari kontribusi untuk menjaga agar peningkatan suhu global tidak melebihi 2 derajat Celsius, menjadi semakin menantang. Kebakaran hutan dan lahan ini sebenarnya warisan masalah dari pengelolaan gambut di masa lampau. Setidaknya, selama 18 tahun kebakaran rutin di negeri ini terjadi di musim kemarau, bahkan dampaknya semakin menyengsarakan rakyat. Kebakaran terutama terjadi di lahan gambut yang telah terkonversi menjadi perkebunan skala luas yang telah mengantongi izin pembukaan lahan dari rezim sebelumnya. Praktik pengeringan lahan gambut dengan membuat kanal-kanal besar lazim dilakukan dalam menyiapkan tanaman perkebunan.

Kebakaran di tahun 2015 dianggap nyaris menyamai bencana kebakaran hutan dan lahan di tahun 1997. Sebagaimana terjadi di tahun 1997, kebakaran hutan dan lahan pada 2015 menghebat karena pada tahun itu kemarau panjang terjadi akibat super El Nino. Kondisi lahan yang terbakar, yang sebagian besar berupa gambut menyebabkan kebakaran menjadi sulit ditanggulangi. Presiden Joko Widodo dihadapkan pada tantangan berat di awal masa kepemimpinannya. Apalagi, kebakaran hutan dan lahan ini telah memanaskan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara tetangga, khususnya dengan Singapura dan Malaysia. Kedua negara ini mendapat kiriman asap pekat sehingga mengganggu kondisi ekonomi dan kesehatan warga mereka. Bahkan, secara global, Indonesia juga menjadi sorotan negara-negara lain akibat besarnya emisi gas rumah kaca yang tercipta dari kebakaran ini. Kondisi ini menyulitkan posisi Presiden Joko Widodo yang waktu itu hendak mengikuti Leader Event Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Paris, pada 30 November 2015. storasi lahan gambut yang selama ini menjadi akar masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, telah menjadi pertaruhan wibawa bangsa ini di dunia internasional. Pada 6 Januari 2016, Presiden RI telah memenuhi janjinya di hadapan para bangsa dunia untuk mencari jalan keluar bagi penyelesaian persoalan kebakaran hutan dan lahan dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang BRG. Sebagai lembaga non-struktural yang bertanggungjawab kepada Presiden RI, BRG dimandatkan untuk mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut yang tersebar di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua dalam periode lima tahun (2016-2020).

Perlindungan  dan  pemulihan  fungsi  ekologis  lahan gambut  merupakan prioritas untuk  mencegah terulangnya bencana  kebakaran  di  lahan  gambut. Upaya untuk merestorasi gambut dalam hal ini meliputi tiga hal, yaitu pembasahan kembali, penanaman kembali, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Prinsip ini dikenal sebagai 3P. Untuk bias melakukan ini, dibutuhkan peta detil kawasan dengan skala operasional, yaitu minimal 1:50.000 hingga 1:2500 yang saat ini masih terus dikerjakan.Untuk melaksanakan upaya konservasi dan restorasi gambut, maka dibutuhkan suatu peta gambut sebagai landasan kerja, baik oleh pemerintah maupun pelaku bisnis yang melakukan penanaman di kawasan gambut. Pada tanggal 14 September2016, BRG telah menyelesaikan peta indikatif restorasi gambut dengan menetapkan 2.492.527 hektar areal terdegradasi yang perlu direstorasi. Sebanyak 30% dari 2,4 juta hektar lahan gambut ditargetkan mulai dilakukan pada tahun 2016, 20% prioritas restorasi lahan gambut masingmasing akan menjadi capaian target restorasi di tahun 2017, 2018, dan 2019, serta 10% di tahun 2020. Pada tahun ini pula disiapkan exit strategy dan kemudian dilanjutkan dengan program Percepatan Pengelolaan Tata Kelola Gambut Lestari di periode selanjutnya. Sebanyak 87% dari areal prioritas restorasi gambut terdapat di kawasan budidaya, selebihnya 13% di kawasan lindung. Pemanfaatan gambut di areal budidaya terbanyak dilakukan oleh pemegang izin/konsesi kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. 



Pemetaan Lahan Gambut

Pemetaan areal restorasi bertumpu pada peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang dibuat oleh Kementerian LHK. KHG adalah ekosistem gambut yang terletak di antara dua sungai, di antara sungai dengan laut atau rawa-rawa. Dari hasil pemetaan, tercatat luas KHG di 7 provinsi prioritas restrorasi gambut mencapai 22,4 juta hektar. Luasan tersebut terdiri atas 15,9 juta hektar lahan gambut dan 6,5 juta hektar lahan mineral (non-gambut). Tidak semua areal dalam KHG bergambut. Luas lahan gambut dalam KHG di 7 provinsi  yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan selatan, Kalimantan Barat, dan Papua memiliki prioritas restorasi gambut mencapai 12,9 juta hektar. Berdasarkan tipologinya, luasan lahan gambut itu dapat diklasifikasi ke dalam tiga kategori: (1) lahan gambut berdasarkan kondisi tutupan lahan; (2) lahan gambut berdasarkan tata ruang; dan (3) kriteria restorasi gambut.


Metode pemetaan lahan gambut dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu: Pemetaan lapangan untuk pengukuran ketebalan gambut, serta karakter fisika dan kimia gambut, Interpretasi citra satelit, Pemetaan dengan teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR), teknologi lain yang sedang dikembangkan: pemetaan dengan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari pesawat. Sementara itu, Pemetaan lahan gambut untuk meningkatkan kualitas peta gambut di Indonesia telah dilakukan diantaranya :Pemetaan KHG skala 1:50,000 oleh KLHK,  Pemetaan skala besar untuk restorasi oleh BRG, Pemetaan oleh universitas lokal, CSO, perusahaan perkebunan, Indonesian Peat Prize yaitu lomba untuk mencari Teknik terbaik dalam melakukan pemetaan gambut


Hasil pemetaan rinci menggunakan LiDAR ini selain menjadi dasar penyusunan teknik pembasahan gambut juga akan membantu membuat zonasi ekosistem gambut menjadi zona lindung atau budidaya. Bila kawasan konsesi atau aktivitas perkebunan berada di zona lindung, pemerintah akan menyiapkan instrumen transisi agar secara berangsur pengelola konsesi mengembalikan fungsinya seperti semula.

Peran Stakeholder dalam restorasi lahan gambut

Sepanjang 2016, BRG juga bekerjasama dengan 11 universitas. Sebanyak 54 mahasiswa, 43 diantaranya dari Universitas Riau, 4 dari Universitas Gadjah Mada, dan 4 mahasiswa Universitas Sebelas Maret selama 8 minggu (21 Juli – 14 September 2016) melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kepulauan Meranti. Sedangkan 43 relawan ditempatkan di 21 desa. Dengan melibatkan perguruan tinggi, saat ini disusun model dan rencana tata usaha peternakan di lahan gambut. Sedangkan pertanian hortikultura akan dikembangkan di Pulang Pisau. Berikut ini gambaran dari peran dari berbagai pihak dalam restorasi dan pemataan lahan gambut:



Sumber : Laporan tahunan Badan Restorasi Gambut 2016. https://brg.go.id/laporan-tahunan-2016/
Materi diskusi Pemetaan Gambut untuk konservasi dan restorasi lahan. Yayasan Dr Sjahrir. Jakarta. 31 November 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerajaan Kurcaci di China

Danau Ubur-Ubur